Keberhasilan
pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur sebelum krisis yang melanda
pada tahun 1997-1998 kerap diasosiasikan dengan kuatnya peranan pemerintah. Tak
seperti di negara-negara Barat yang mengutamakan mekanisme pasar dan
mendudukkan pemerintah pada peran ekonomi yang seminimal mungkin, di
negara-negara Asia Timur pemerintah dan swasta berinteraksi dalam suatu jalinan
kelembagaan yang memungkinkan terpacunya pertumbuhan usaha atau industri yang
efisien dan berdaya saing. Sebelum krisis tak sedikit ekonom liberal atau
neoklasik yang bersikukuh bahwa keberhasilan Asia Timur tetap bisa dijelaskan
sepenuhnya dengan kerangka teori yang mereka yakini. Bahkan di antara mereka
ada yang mencibir dengan mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang
mengindikasikan bahwa era pertumbuhan tinggi di Asia Timur sudah hampir
berakhir, karena yang menjadi topangannya selama ini -yaitu tenaga kerja murah,
sumber daya alam, dan modal pinjaman murah- tak bisa lagi terus menerus
diandalkan.
Kapitalisme
atau liberalisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memak-murkan
masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan). Namun,
ditinjau dari kacamata pembangunan fisik semata, komunisme juga mampu
melakukannya walaupun tidak sehebat Kapitalisme. Fenomena keberhasilan Asia
Timur juga membuktikan bahwa kapitalisme a la Barat bukan satu-satunya sistem
yang menjamin keberhasilan ekonomi. Persoalannya kian pelik kalau yang menjadi
tolok ukur keberhasilan tak semata-mata aspek materi, melainkan juga penguatan
harkat dan martabat umat manusia. Sejauh ini kita bisa mengatakan, paling tidak
komunisme telah gagal mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sebaliknya,
tak ada yang bisa menjamin bahwa sistem yang diterapkan di Barat maupun Asia
Timur akan terus mampu dan berhasil mempertahankan kesinambungan sukses
ekonomi, apalagi sekaligus memperkokoh harkat dan martabat manusianya.
Dari pengalaman banyak negara
kita bisa menarik hikmah bahwa sepanjang itu rekayasa manusia, tak ada yang
bersifat langgeng. Segalanya akan dan harus berubah sejalan dengan tuntutan
masa. Kapitalisme yang kita kenal dewasa ini sudah jauh berbeda dengan sosok
idealnya. Demikian pula dengan demokrasi, sangat berbeda bentuknya dibandingkan
dengan yang diidealkan oleh Jean Jacques Rousseau. Bagi Indonesia yang
belum memiliki sosok yang jelas, seharusnya bisa lebih banyak belajar dari
pengalaman keberhasilan dan kegagalan sistem-sistem yang sejauh ini telah
diterapkan. Akan terlalu panjang dan berliku perjalanan yang harus dilalui
kalau kita membusungkan dada dengan tekad, yang tak pernah terealisasikan,
mencari sendiri sistem yang paling “tepat” bagi kita, kecuali jika kita
benar-benar mampu menjabarkan sepenuhnya hukum-hukum Ilahiah. Mencari
boleh-boleh saja, tetapi jangan memasang target kelewat tinggi yang tidak
realistik.
Campur tangan
pemerintah di dalam perekonomian memang tak perlu dipandang sebagai pantangan.
Keberhasilan negara-negara Asia Timur bahkan dicirikan oleh kuatnya campur
tangan pemerintah. Tetapi sebaliknya, banyak campur tangan tak menjamin
keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyaknya campur tangan pemerintah juga tak
otomatis mencerminkan kuatnya peranan pemerintah, apalagi kalau bercampur baur
dengan kepentingan pribadi atau motif politik elit penguasa. Jadi sejak awal
harus dibedakan dengan tegas antara kepentingan pemerintah yang mewakili secara
sah kedaulatan rakyat dengan kepentingan pribadi-pribadi elit penguasa. Kalau
pada tahap ini saja kita sudah kehilangan jejak, jangan banyak berharap campur
tangan pemerintah akan memberikan dampak positif yang lebih besar ketimbang
dampak negatifnya.
Campur tangan
harus diiringi dengan otonomi pemerintah-bahkan ada yang berpendapat harus
dengan strong autonomy of state-dalam memformulasikan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dan menerapkannya. Otonomi ini pun merupakan suatu syarat perlu
(necessary condition), jadi belum tentu menjamin keberhasilan, karena pada
gilirannya bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerapkan otonomi itu
sendiri. Di sini kita bicara kapasitas pemerintah untuk membaca medan laga,
mempertimbangkan daya absorpsi sosial-politik masyarakat yang dihadapinya, yang
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian tak ada bentuk final dari sosok
keterlibatan pemerintah yang optimal. Yang penting adalah kemampuan suatu
sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru.
Peran pemerintah dalam
pembangunan telah menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran
Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah
sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan
objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para
penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat
menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari
sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi
melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen.
Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak
baik yang harus dihindarkan.
Berbeda dengan kaum
klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah sebagai
suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi persaingan
bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi bukan
kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai
golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang 46 sebagai
salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru
menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan
mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full
employment of outputs).
Karena itu Keynes memandang perlu adanya
peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi
pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya
kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat bahwa kebebasan pasar yang
berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan alokasi
sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari campur
tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas
pembangunan akan dibahas selanjutnya.
A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan
historis
Selama Perang Dunia II,
pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam
pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang
dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan
ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Mudah dimengerti,
karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi kehidupan,
rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi pemerintah untuk
melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan
rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga
dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kehancuran besar tidak mampu
membangun dirinya sendiri.
Untuk membantu mereka,
dunia internasional, terutama negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu
sepakat untuk melakukan bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain
melalui Marshall Plan yang diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan
bantuan tersebut melibatkan pemerintah masing-masing negara yang dibantu.
Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah
negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah
lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia , Korea dan lain-lain. Beriringan
sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk
merdeka. Mula-mula Indonesia
pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan negara-negara baru lain.
Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh kemerdekaan, namun tidak
semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan yang sama.
perjuangan lebih lanjut untuk menyembuhkan
akibat dari PD-II dan perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu
memerlukan waktu yang cukup
panjang dan berat. Perjuangan itu, semua
harus dilakukan oleh pemerintah, tidak
mungkin dilakukan swasta melalui pasar bebas.
Dinegara-negara berkembang yang mendapat
kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting
karena beberapa hal:
1.
Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu serta mengajak
mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah
dapat melakukannya. Bagi negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia ,
pembangunan menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan
tingkat pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan
strategi yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan
banyak masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang. Pada beberapa
negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut sehingga
ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya sendiri,
seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo dari Serbia.
Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara penanganan dengan
kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan menimbulkan rasa
dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam keadaan demikian
terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya.
2.
Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai
lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka
melalui perjuangan bersenjata, pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara
darurat. Sebagian dari bisnis yang ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh
kalangan militer yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan danpengalaman
dalam bisnis. Lebih-lebih karena cara pengambilalihan itu dilakukan secara
sepihak dan mendadak, tidak ada informasi tentang kegiatan bisnis yang
berlangsung sebelumnya.
3.
Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai
industri dan bisnis. Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak
di bidang pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang pertanian dan
perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing industri ini
tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada koordinasi satu sama
lain. Di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor
bahan mentah ke negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang.
Lebih-lebih setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative
advantages dikampanyekan oleh negara-negara industri
maju. Sebagai akibat dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang
terkait, koordinasi ini lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang
sebagai pembinaan, maka pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian
BUMN sebagai koordinator termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu
dilakukan oleh Departemen Keuangan.
4.
Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara terpusat
seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang
mampu berperan sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai
pembangunannya, seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di
Eropah, dari keadaan semula sebagai negara pertanian, mendorong negara-negara
yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan terpusat seperti yang
dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang tersentralisir dimana peran
pemerintah pusat menjadi sangat menentukan. Melalui sistem perencanaan terpusat
itu, negara-negara baru berkembang membangun infra-struktur, pendidikan dan
institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi penting karena pembangunan itu
dibiayai dengan dana yang terbatas yang diperoleh sebagian besar melalui
pinjaman dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Dengan
sistem perencanaan terpusat diharapkan penggunaan dana tersebut menjadi lebih
efisien dan terarah sesuai dengan prioritas yang ditetapkan. Melalui
perencanaan juga memungkinkan untuk melakukan sinkronisasi yang komplementer
diantara berbagai program pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
B. Kritik Terhadap Campur Tangan
Pemerintah
Sejak tahun 1960-an
peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama
datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh
IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai
dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi
depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama
abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age)
dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah
PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara
maju. Setelah masa gemilang selama 25
tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami
penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya.
Karena itu timbul
anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu
untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang
melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses
pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon
Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan
pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan
sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme
yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong
negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara
lain berisi:
1. liberalisasi perdagangan melalui upaya
penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti
pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2. kesamaan perlakuan antara investasi asing dan
investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi
langsung
3. privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4.
pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan
menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5.
harus ada perlindungan terhadap property right,
baik disektor formal
Sementara itu IMF
sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk
memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat
timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara
yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro
ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat pengangguran yang
tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap
inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi memang
merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih
tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan kerja.
C. Peran
Institusi dalam Pembangunan
Untuk melihat peran institusi, persoalan
pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran pemerintah yang sebaiknya
dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dilihat secara
sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada dilapangan pada waktu sekarang.
Pertama, kelompok neoliberal yang
menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang
menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik
adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling
sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan (government is the least government). Kedua,
kelompok welfare econnomics yang
disebut juga sebagai market failure approach.
Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan
distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar.
Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan
proyek-proyek pionir.
Pada public
goods terdapat ketidak mampuan pasar dalam pengaturan pengadaan dan
distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari
barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama,
sulit dibedakan antara yang membayar ,dengan yang tidak membayar, baik dalam
pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness).
Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan
itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama,
bukan bersifat sendiri-sendiri.
Contoh dari public
goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya dan sebagainya. Demikian
juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya
tidak mungkin diadakan berdasarkan
perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat
dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang.
Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan
terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan
sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru.
Di negara-negara
berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial
tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi.
Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat
terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek
untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah
ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek
pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek
pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan
pembangunan pasar-pasar terdekat. Melihat pentingnya sarana pelayanan umum
berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara
berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran
langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. Aliran ketiga
adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang
berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu
berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara
langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak
lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan
pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan
menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada
ataupun dengan membentuk lembaga sementara.
Di Indonesia lembaga
sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut
ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan
begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain
berbentuk panitia. Ada
pula lembaga ad hoc dalam
arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi
berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau
serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai
lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu.
Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang
bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang
demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
sebuah lembaga yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi
yang terjadi di Indonesia.
Lembaga khusus-lembaga
khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada
tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas
khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu
penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi
lembaga itu. Namun yang perlu diingat, bahwa lembaga ad
hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan
menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy
termination) atau harus berlanjut (continues)?
Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam
lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah
menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan
sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada
dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan
institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan
struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka
panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah
satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini
tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan
melalui lembaga atau struktur tertentu Pengertian tentang kesesuaian organisasi
dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler
tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk
organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan kinerja yang ingin dicapai.
Sehubungan dengan desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan
diuraikan dalam tulisan lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986,Ph.D
Dissertation, University
of Pittsburgh ).
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang
bervariasi antara desentralisasi dan centralisasi dalam kurun waktu yang
berlainan bergerak seperti pendulum, sekali kekiri kearah centralisasi, lain
kali kekanan kearah lebih desentralistik. Peralihan setiap waktu itu memberi
pengaruh pada performance atau
kinerja dalam pembangunan. Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi
masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif
lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara centralisasi lebih
mengarah pada penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat
yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan
yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam
prosess penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan
daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Lingkungan dapat dibedakan atas
lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Masing-masing
lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan
internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value
Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal
atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas
pendukung. Analisis ini memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan
organisasi. Tugas pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki
kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan kekuatan yang ada menjadi lebih
baik untuk mampu menangani berbagai tugas dan kegiatan yang makin berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar