Senin, 21 Februari 2011

Perlukah Campur Tangan Pemerintah Dalam Perekonomian

Keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur sebelum krisis yang melanda pada tahun 1997-1998 kerap diasosiasikan dengan kuatnya peranan pemerintah. Tak seperti di negara-negara Barat yang mengutamakan mekanisme pasar dan mendudukkan pemerintah pada peran ekonomi yang seminimal mungkin, di negara-negara Asia Timur pemerintah dan swasta berinteraksi dalam suatu jalinan kelembagaan yang memungkinkan terpacunya pertumbuhan usaha atau industri yang efisien dan berdaya saing. Sebelum krisis tak sedikit ekonom liberal atau neoklasik yang bersikukuh bahwa keberhasilan Asia Timur tetap bisa dijelaskan sepenuhnya dengan kerangka teori yang mereka yakini. Bahkan di antara mereka ada yang mencibir dengan mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang mengindikasikan bahwa era pertumbuhan tinggi di Asia Timur sudah hampir berakhir, karena yang menjadi topangannya selama ini -yaitu tenaga kerja murah, sumber daya alam, dan modal pinjaman murah- tak bisa lagi terus menerus diandalkan.
Kapitalisme atau liberalisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memak-murkan masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan). Namun, ditinjau dari kacamata pembangunan fisik semata, komunisme juga mampu melakukannya walaupun tidak sehebat Kapitalisme. Fenomena keberhasilan Asia Timur juga membuktikan bahwa kapitalisme a la Barat bukan satu-satunya sistem yang menjamin keberhasilan ekonomi. Persoalannya kian pelik kalau yang menjadi tolok ukur keberhasilan tak semata-mata aspek materi, melainkan juga penguatan harkat dan martabat umat manusia. Sejauh ini kita bisa mengatakan, paling tidak komunisme telah gagal mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sebaliknya, tak ada yang bisa menjamin bahwa sistem yang diterapkan di Barat maupun Asia Timur akan terus mampu dan berhasil mempertahankan kesinambungan sukses ekonomi, apalagi sekaligus memperkokoh harkat dan martabat manusianya.
Dari pengalaman banyak negara kita bisa menarik hikmah bahwa sepanjang itu rekayasa manusia, tak ada yang bersifat langgeng. Segalanya akan dan harus berubah sejalan dengan tuntutan masa. Kapitalisme yang kita kenal dewasa ini sudah jauh berbeda dengan sosok idealnya. Demikian pula dengan demokrasi, sangat berbeda bentuknya dibandingkan dengan yang diidealkan oleh Jean Jacques Rousseau. Bagi Indonesia yang belum memiliki sosok yang jelas, seharusnya bisa lebih banyak belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan sistem-sistem yang sejauh ini telah diterapkan. Akan terlalu panjang dan berliku perjalanan yang harus dilalui kalau kita membusungkan dada dengan tekad, yang tak pernah terealisasikan, mencari sendiri sistem yang paling “tepat” bagi kita, kecuali jika kita benar-benar mampu menjabarkan sepenuhnya hukum-hukum Ilahiah. Mencari boleh-boleh saja, tetapi jangan memasang target kelewat tinggi yang tidak realistik.
Campur tangan pemerintah di dalam perekonomian memang tak perlu dipandang sebagai pantangan. Keberhasilan negara-negara Asia Timur bahkan dicirikan oleh kuatnya campur tangan pemerintah. Tetapi sebaliknya, banyak campur tangan tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyaknya campur tangan pemerintah juga tak otomatis mencerminkan kuatnya peranan pemerintah, apalagi kalau bercampur baur dengan kepentingan pribadi atau motif politik elit penguasa. Jadi sejak awal harus dibedakan dengan tegas antara kepentingan pemerintah yang mewakili secara sah kedaulatan rakyat dengan kepentingan pribadi-pribadi elit penguasa. Kalau pada tahap ini saja kita sudah kehilangan jejak, jangan banyak berharap campur tangan pemerintah akan memberikan dampak positif yang lebih besar ketimbang dampak negatifnya.
Campur tangan harus diiringi dengan otonomi pemerintah-bahkan ada yang berpendapat harus dengan strong autonomy of state-dalam memformulasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan menerapkannya. Otonomi ini pun merupakan suatu syarat perlu (necessary condition), jadi belum tentu menjamin keberhasilan, karena pada gilirannya bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerapkan otonomi itu sendiri. Di sini kita bicara kapasitas pemerintah untuk membaca medan laga, mempertimbangkan daya absorpsi sosial-politik masyarakat yang dihadapinya, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian tak ada bentuk final dari sosok keterlibatan pemerintah yang optimal. Yang penting adalah kemampuan suatu sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru.
Peran pemerintah dalam pembangunan telah menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen. Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak baik yang harus dihindarkan.
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang 46 sebagai salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full employment of outputs).
Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat bahwa kebebasan pasar yang berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan alokasi sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari campur tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas pembangunan akan dibahas selanjutnya.
A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan historis
Selama Perang Dunia II, pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Mudah dimengerti, karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi kehidupan, rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kehancuran besar tidak mampu membangun dirinya sendiri.
Untuk membantu mereka, dunia internasional, terutama negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu sepakat untuk melakukan bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain melalui Marshall Plan yang diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan bantuan tersebut melibatkan pemerintah masing-masing negara yang dibantu. Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain. Beriringan sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk merdeka. Mula-mula Indonesia pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan negara-negara baru lain. Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan yang sama.
 Ada negara yang dipersiapkan untuk kemudian diberikan kemerdekaan oleh para penjajah, ada negara yang mencapai kemerdekannya melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi yang ulet. Negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata itu antara lain adalah Indonesia, Aljazair dan Vienam. Bagi negara-negara ini,
perjuangan lebih lanjut untuk menyembuhkan akibat dari PD-II dan perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu memerlukan waktu yang cukup
panjang dan berat. Perjuangan itu, semua harus dilakukan oleh pemerintah, tidak
mungkin dilakukan swasta melalui pasar bebas.
Dinegara-negara berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting karena beberapa hal:
1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah dapat melakukannya. Bagi negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia, pembangunan menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan tingkat pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan strategi yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan banyak masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang. Pada beberapa negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut sehingga ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya sendiri, seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo dari Serbia. Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara penanganan dengan kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan menimbulkan rasa dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam keadaan demikian terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya.
2. Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka melalui perjuangan bersenjata, pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara darurat. Sebagian dari bisnis yang ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh kalangan militer yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan danpengalaman dalam bisnis. Lebih-lebih karena cara pengambilalihan itu dilakukan secara sepihak dan mendadak, tidak ada informasi tentang kegiatan bisnis yang berlangsung sebelumnya.
3. Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai industri dan bisnis. Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak di bidang pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing industri ini tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada koordinasi satu sama lain. Di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor bahan mentah ke negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang. Lebih-lebih setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative advantages dikampanyekan oleh negara-negara industri maju. Sebagai akibat dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang terkait, koordinasi ini lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang sebagai pembinaan, maka pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian BUMN sebagai koordinator termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu dilakukan oleh Departemen Keuangan.
4. Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara terpusat seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang mampu berperan sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai pembangunannya, seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di Eropah, dari keadaan semula sebagai negara pertanian, mendorong negara-negara yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan terpusat seperti yang dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang tersentralisir dimana peran pemerintah pusat menjadi sangat menentukan. Melalui sistem perencanaan terpusat itu, negara-negara baru berkembang membangun infra-struktur, pendidikan dan institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi penting karena pembangunan itu dibiayai dengan dana yang terbatas yang diperoleh sebagian besar melalui pinjaman dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Dengan sistem perencanaan terpusat diharapkan penggunaan dana tersebut menjadi lebih efisien dan terarah sesuai dengan prioritas yang ditetapkan. Melalui perencanaan juga memungkinkan untuk melakukan sinkronisasi yang komplementer diantara berbagai program pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
B. Kritik Terhadap Campur Tangan Pemerintah
Sejak tahun 1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang selama 25
tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya.
Karena itu timbul anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara lain berisi:
1.  liberalisasi perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2.  kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi langsung 
3.  privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4. pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5. harus ada perlindungan terhadap property right, baik disektor formal
Sementara itu IMF sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan kerja.
C. Peran Institusi dalam Pembangunan
Untuk melihat peran institusi, persoalan pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran pemerintah yang sebaiknya dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dilihat secara sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada dilapangan pada waktu sekarang. Pertama, kelompok neoliberal yang menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan  (government is the least government). Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyek-proyek pionir.
Pada public goods terdapat ketidak mampuan pasar dalam pengaturan pengadaan dan distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama, sulit dibedakan antara yang membayar ,dengan yang tidak membayar, baik dalam pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat sendiri-sendiri.
Contoh dari public goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya dan sebagainya. Demikian juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya
tidak mungkin diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru.
Di negara-negara berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat. Melihat pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. Aliran ketiga adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga sementara.
Di Indonesia lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia. Ada pula lembaga ad hoc dalam arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu. Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di Indonesia.
Lembaga khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Namun yang perlu diingat, bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy termination) atau harus berlanjut (continues)? Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan melalui lembaga atau struktur tertentu Pengertian tentang kesesuaian organisasi dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan kinerja yang ingin dicapai. Sehubungan dengan desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan diuraikan dalam tulisan lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986,Ph.D Dissertation, University of Pittsburgh).
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan centralisasi dalam kurun waktu yang berlainan bergerak seperti pendulum, sekali kekiri kearah centralisasi, lain kali kekanan kearah lebih desentralistik. Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh pada performance atau kinerja dalam pembangunan. Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara centralisasi lebih mengarah pada penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam prosess penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Lingkungan dapat dibedakan atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Masing-masing lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas pendukung. Analisis ini memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan organisasi. Tugas pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan kekuatan yang ada menjadi lebih baik untuk mampu menangani berbagai tugas dan kegiatan yang makin berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar