Senin, 28 Februari 2011

Jumlah penduduk di dunia menembus 7 mily

WASHINGTON, RABU - Jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 7 miliar jiwa pada tahun 2012. Terdapat 6,7 miliar penduduk dunia saat ini. AS menempati urutan ketiga untuk jumlah penduduk terbesar dunia yang mencapai 304 juta jiwa setelah India serta China. Jumlah penduduk dunia mencapai 6 miliar jiwa pada tahun 1999. Ini berarti dibutuhkan waktu  sekitar13 tahun lagi agar jumlah penduduk dunia bertambah 1 miliar jiwa.
Penduduk dunia mengalami pertambahan jumlah 1,2 persen setiap tahunnya. Biro Sensus AS memproyeksikan tingkat pertumbuhan akan menyusut 0,5 persen menjelang tahun 2050. Pada saat itu, India diperkirakan akan mengambil alih China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia.
Ahli demografi Biro Referensi Penduduk AS, Carl Haub, menerangkan, perkembangan nutrisi dan medis di negara berkembang telah mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk menyusul Perang Dunia II. Sebagai perbandingan, menurut Carl Haub, jumlah penduduk dunia belum mencapai 1 miliar hingga tahun 1800.  Jumlah penduduk dunia belum mencapai 2 miliar jiwa hingga 130 tahun kemudian.
Biro Sensus AS memperbaharui proyeksinya setiap tahun dengan menggunakan berbagai trend demografi global yang mencakup tingkat mortalitas dan fertilitas serta harapan hidup. Pusat Statistik Kesehatan Nasional AS pekanl lalu mengumumkan bahwa harapan hidup warga AS telah melampaui usia 78 tahun untuk pertama kalinya.
Laporan terbaru tersebut dikeluarkan di tengah tingginya lonjakan harga minyak dan bensin yang diantaranya berperan dalam pertumbuhan ekonomi di China dan India. William Frey, ahli demografi Brookings Institution menerangkan tidak ada konsesus tentang ketahanan hidup dari banyak penduduk di dunia. William Frey menerangkan hal tersebut bergantung pada bagaimana manusia mengelola sumber daya alam Bumi.

Jejak Neoliberalisme di Indonesi

Menjelang digelarnya pemilihan umum presiden pada 8 Juli 2009, “neolib” menjadi salah satu topik paling hangat. Hal ini seiring dengan dipilihnya Boediono oleh SBY sebagai pendampingnya di dalam memimpin Indonesia ke depan.

Tidak dapat dipungkiri, “neolib” atau Neoliberalisme telah menjadi isu menguntungkan bagi kandidat Mega-Pro dan JK-Win dan sebaliknya merugikan kandidat incumbent SBY-Boediono. Isu ini membuat kubu SBY-Boediono “kebakaran jenggot”.

SBY menyebut pihak-pihak yang menuduhnya “neolib” tidak memahami apa yang disebut dengan Neoliberalisme. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah tidak mungkin menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Begitu pula Pjs Gubernur BI, Miranda S. Goeltom menganggap dirinya yang sudah 42 tahun belajar ekonomi tidak mengenal apa itu neoliberalisme. Sejumlah ekonom seperti Chatib Basri dan Raden Pardede juga menekankan bahwa tidak ada jejak Neoliberalisme di Indonesia.

Definisi dan Akar Ideologi Neoliberalisme

Saat ini perbincangan tentang Neoliberalisme telah lepas dari akar ideologinya (Kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya sebatas “isme†anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri.

Neoliberalisme juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989). Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang ditawarkan (baca: dipaksakan) IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat kepada dunia ketiga.

Neoliberalisme merupakan “isme†yang dinisbatkan kepada “watak†pemerintahan Augustu Pinochet (1873-1990) di Chile hasil perselingkuhan keditaktoran dengan ekonomi pasar bebas (B. Hery Priyono: 2009). Perselingkuhan ini terjadi ketika Pinochet yang meraih kekuasaan melalui kudeta berdarah mengangkat Chicago boys untuk mengelola kebijakan ekonomi.

Chicago boys adalah para pemuda Chile yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Chicago. Selama 1955-1963, 30 pemuda Chile telah mendapat gelar PhD di bidang ekonomi. Di universitas inilah para pemuda tersebut dicuci otaknya dengan pemikiran ekonomi ala mazhab Chicago, yakni mazhab ekonomi yang dikembangkan oleh seorang imigran Yahudi Milton Friedman yang mendapat gelar “nabi†Neoliberalisme (Wibowo: 2004).

Milton Friedman bersama Friedrich August Hayek (ekonom dari Austria) menjadi peletak dasar bangunan Neoliberalisme. Hayek mengunggulkan Kapitalisme pasar bebas dengan menempatkan harga sebagai metode untuk mengoptimalkan alokasi modal, kreativitas manusia, dan tenaga kerja. Sementara Friedman berpandangan insentif individual merupakan cara terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Menurut Friedman, â€Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi laba…†(B Herry Priyono: 2003).

â€Isme†liberal baru yang dikembangkan Friedman dan Hayek tidak dapat dipisahkan dari nilai dan spirit ideologi Kapitalisme yang dibangun dari filsafat liberalisme klasik. Menurut Betrand Russel (2002) Filsafat liberalisme klasik merupakan inti pemikiran asas ideologi Kapitalisme, yakni Sekularisme.

Liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan individu diperlukan untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai sekuler ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior) (Zallum: 2001). Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian.

Dalam liberalisme klasik Adam Smith, perekonomian harus berjalan tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire). Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan secara otomatis. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan, maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Pandangan ekonomi Smith ini kemudian dikenal sebagai ekonomi pasar murni.

Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih berbicara kepentingan publik, liberalisme Friedman menempatkan transaksi ekonomi (motif materi) sebagai satu-satunya landasan interaksi antar manusia dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hubungan antar bangsa.

Meskipun Neoliberalisme mengusung ide pasar bebas, bukan berarti persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dalam bahasa Prof. Claudia von Werlhof (2007) kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi bukan bagi masyarakat. Begitu pula tidak benar jika dalam kerangka Neoliberalisme negara tidak melakukan campur tangan. Bahkan seringkali dalam merealisasikan kebijakan neolib pemerintah menerapkan kebijakan â€tangan besiâ€.

Tingkat resistensi masyarakat terhadap kebijakan neoliberal sangat besar. Untuk itu, kebijakan neoliberal selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk kebohongan publik. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digemba-gemborkan sebagai jalan menuju kemakmuran. Atau privatisasi dianggap sebagai upaya untuk memperluas kepemilikan masyarakat.

Terlepas adanya perbedaan Neoliberalisme dengan liberalismenya Adam Smith, serta pandangan yang bertolak belakang dengan mazhab Keynesian yang mengedepankan campur tangan pemerintah, Neoliberalisme merupakan wujud baru Kapitalisme yang lebih serakah dan jahat.

Neoliberal dari Masa ke Masa

Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar khususnya Amerika Serikat.

Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan Amerika menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru merdeka masuk ke dalam cengkramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi.

Amerika mendorong pembangunan berbasis hutang hutang dan investasi asing di dunia ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap hutang (debt trap) sehingga mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lututâ€.

Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajah†di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar†di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu†Indonesia (Johnson Library: 1967).

Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah pejabat pro Amerika.

Soemitro bersama Soedjatmoko merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berorientasi ke Barat. Pada 1949 di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation, Soemitro mengatakan Sosialisme yang diyakininya termasuk akses seluas-luasnya terhadap sumber daya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi investasi asing. Sedangkan Soedjatmoko di hadapan tokoh-tokoh Amerika di New York menyampaikan strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada ketersediaan sumber daya di Asia

Sejak 1951 Soemitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di kampus ini, Soemitro bekerjasama dengan Ford Foundation mengatur pemuda Indonesia untuk disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard. Inilah cikal bakal lahirnya Mafia Berkeley.

Pada saat itu, Ford Foundation dipimpin Paul Hoffman yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa. Tujuan program pendidikan para pemuda Indonesia di Amerika untuk mencetak para administrator modern di dalam pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika. Hal ini persis seperti yang dilakukan Amerika terhadap para pemuda Chile yang tergabung dalam Chicago Boys.

Jika Chicago Boys memegang peranan penting di tubuh pemerintahan setelah kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet yang didukung Amerika, maka Mafia Berkeley pun mendapatkan kedudukan strategis setelah Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dengan dukungan Amerika pula (Ransom: 2006).

Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).

Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut.

Setahun kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah anggota Mafia Berkeley duduk dalam kabinetnya. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Meteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Emil Salim Wakil Ketua Bappenas, Ali Wardhana Menteri Keuangan, Subroto Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan, Moh. Sadli Ketua Tim Penanaman Modal Asing, dan Sudjatmoko Duta Besar RI di Washington (Ransom: 2006).

Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada hutang. Sementara Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan hutang, dan memobilisasi hutang baru. Sedangkan Bank Dunia berperan dalam memandu perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.

Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi Neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).

Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).

Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).

Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.

Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.

Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-Boediono tidak menjalan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, sebab mereka pernah menjadi incumbent.

Kesimpulan

Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme Neoliberal pada saat ini. Karena itu sangat memprihatinkan pejabat negara yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar sekali pun.

Ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalam “topeng†pembangunan, maka kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.

Karena itu tawaran konsep Islam untuk Indonesia lebih baik dan kuat dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah menjadi sangat relevan sebagai sebuah solusi. Sebab masalah negeri kita tidak semata-mata masalah personal pemimpin yang neolib malinkan juga akibat bercokolnya sistem Kapitalisme liberal di Indonesia. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/www.jurnal-ekonomi.org


APBN

Jakarta (ANTARA News) - Panitia Anggaran DPR RI mengungkapkan selama pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2007 masih menyisakan rekening yang mengalami "deadlock" (kebuntuan) senilai Rp10,22 triliun. Wakil Ketua Panitia Anggaran Harry Azhar Aziz di Jakarta, Selasa mengatakan, selain rekening yang tidak jelas identitas pemiliknya pelaksanaan APBN 2007 juga menyisakan rekening yang belum/tidak dilakukan penutupan maupun rekening yang "deadlock" pembahasannya. "Rekapitulasi rekening yang tidak dapat diselesaikan atau dilaksanakan pembahasannya hingga 31 Desember 2007 mencapai 3.931 rekening senilai Rp10,22 triliun serta 391.449 dolar AS," katanya. Menurut dia , rekening yang "deadlock tersebut meliputi rekening tidak jelas identitas pemiliknya sebanyak 550 rekening senilai Rp231,76 miliar. identitas pemilik rekening tersebut dari 28 kementerian dan lembaga (K/L). Menurut dia, rekening yang tidak jelas identitas pemiliknya terbanyak di departemen perindustrian yakni 173 rekening, departemen kehutanan 102 rekening, departemen PU 46 rekening, departemen kelautan dan perikanan serta departemen agama masing-masing 27 rekening. Namun demikian dari nilainya terbesar ada di departemen ESDM yakni Rp77,90 miliar, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Rp60,96 miliar, departemen keuangan Rp32,95 miliar, serta departemen perindustrian Rp16,95 miliar. Harry juga mengungkapkan, dari hasil Rapat Kerja Pembicaraan Tingkat I Pembahasan RUU Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN 2007 dengan Dirjen Perbendaharaan Negara juga diketahui rekening yang belum/tidak dilakukan penutupan sebanyak 2.402 rekening senilai Rp9,12 triliun dan 77.416 dolar AS yang berasal dari 36 K/L. Sementara itu rekening yang mengalami pembahasan deadlock dari APBN TA 2007 sebanyak 979 rekening dengan nilai Rp874,33 miliar serta 314.033 dolar AS dari enam K/L. "Rekening yang mengalami `deadlock` pembahasan tersebut umumnya disebabkan tidak lengkapnya dokumentasi maupun informasi," katanya. Harry menegaskan, setiap aktivitas APBN 2007 harus dibuatkan penyelesaian pada 2007. Menyinggung kemungkinan diberikannya sanksi atas keterlambatan pemerintah menyampaikan laporan APBN 2007 kepada DPR dia menyatakan penyusunan laporan biasanya memakan waktu 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir atau sekitar pertengahan 2008. Setelah itu BPK melakukan audit sekitar 3-6 bulan sehingga pada akhir tahun lalu semestinya sudah masuk ke DPR. Pemerintah akan menyampaikan laporan kerja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2007 pada 25 Mei nanti sedangkan 2 Juni 2009 akan disiapkan Undang-undang LKPP 2007. "Jika disampaikan pada saat ini masih belum terlalu terlambat meskipun mundur 4 bulan," katanya.(*)

Senin, 21 Februari 2011

Perlukah Campur Tangan Pemerintah Dalam Perekonomian

Keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur sebelum krisis yang melanda pada tahun 1997-1998 kerap diasosiasikan dengan kuatnya peranan pemerintah. Tak seperti di negara-negara Barat yang mengutamakan mekanisme pasar dan mendudukkan pemerintah pada peran ekonomi yang seminimal mungkin, di negara-negara Asia Timur pemerintah dan swasta berinteraksi dalam suatu jalinan kelembagaan yang memungkinkan terpacunya pertumbuhan usaha atau industri yang efisien dan berdaya saing. Sebelum krisis tak sedikit ekonom liberal atau neoklasik yang bersikukuh bahwa keberhasilan Asia Timur tetap bisa dijelaskan sepenuhnya dengan kerangka teori yang mereka yakini. Bahkan di antara mereka ada yang mencibir dengan mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang mengindikasikan bahwa era pertumbuhan tinggi di Asia Timur sudah hampir berakhir, karena yang menjadi topangannya selama ini -yaitu tenaga kerja murah, sumber daya alam, dan modal pinjaman murah- tak bisa lagi terus menerus diandalkan.
Kapitalisme atau liberalisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memak-murkan masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan). Namun, ditinjau dari kacamata pembangunan fisik semata, komunisme juga mampu melakukannya walaupun tidak sehebat Kapitalisme. Fenomena keberhasilan Asia Timur juga membuktikan bahwa kapitalisme a la Barat bukan satu-satunya sistem yang menjamin keberhasilan ekonomi. Persoalannya kian pelik kalau yang menjadi tolok ukur keberhasilan tak semata-mata aspek materi, melainkan juga penguatan harkat dan martabat umat manusia. Sejauh ini kita bisa mengatakan, paling tidak komunisme telah gagal mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sebaliknya, tak ada yang bisa menjamin bahwa sistem yang diterapkan di Barat maupun Asia Timur akan terus mampu dan berhasil mempertahankan kesinambungan sukses ekonomi, apalagi sekaligus memperkokoh harkat dan martabat manusianya.
Dari pengalaman banyak negara kita bisa menarik hikmah bahwa sepanjang itu rekayasa manusia, tak ada yang bersifat langgeng. Segalanya akan dan harus berubah sejalan dengan tuntutan masa. Kapitalisme yang kita kenal dewasa ini sudah jauh berbeda dengan sosok idealnya. Demikian pula dengan demokrasi, sangat berbeda bentuknya dibandingkan dengan yang diidealkan oleh Jean Jacques Rousseau. Bagi Indonesia yang belum memiliki sosok yang jelas, seharusnya bisa lebih banyak belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan sistem-sistem yang sejauh ini telah diterapkan. Akan terlalu panjang dan berliku perjalanan yang harus dilalui kalau kita membusungkan dada dengan tekad, yang tak pernah terealisasikan, mencari sendiri sistem yang paling “tepat” bagi kita, kecuali jika kita benar-benar mampu menjabarkan sepenuhnya hukum-hukum Ilahiah. Mencari boleh-boleh saja, tetapi jangan memasang target kelewat tinggi yang tidak realistik.
Campur tangan pemerintah di dalam perekonomian memang tak perlu dipandang sebagai pantangan. Keberhasilan negara-negara Asia Timur bahkan dicirikan oleh kuatnya campur tangan pemerintah. Tetapi sebaliknya, banyak campur tangan tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyaknya campur tangan pemerintah juga tak otomatis mencerminkan kuatnya peranan pemerintah, apalagi kalau bercampur baur dengan kepentingan pribadi atau motif politik elit penguasa. Jadi sejak awal harus dibedakan dengan tegas antara kepentingan pemerintah yang mewakili secara sah kedaulatan rakyat dengan kepentingan pribadi-pribadi elit penguasa. Kalau pada tahap ini saja kita sudah kehilangan jejak, jangan banyak berharap campur tangan pemerintah akan memberikan dampak positif yang lebih besar ketimbang dampak negatifnya.
Campur tangan harus diiringi dengan otonomi pemerintah-bahkan ada yang berpendapat harus dengan strong autonomy of state-dalam memformulasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan menerapkannya. Otonomi ini pun merupakan suatu syarat perlu (necessary condition), jadi belum tentu menjamin keberhasilan, karena pada gilirannya bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerapkan otonomi itu sendiri. Di sini kita bicara kapasitas pemerintah untuk membaca medan laga, mempertimbangkan daya absorpsi sosial-politik masyarakat yang dihadapinya, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian tak ada bentuk final dari sosok keterlibatan pemerintah yang optimal. Yang penting adalah kemampuan suatu sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru.
Peran pemerintah dalam pembangunan telah menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen. Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak baik yang harus dihindarkan.
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang 46 sebagai salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full employment of outputs).
Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat bahwa kebebasan pasar yang berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan alokasi sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari campur tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas pembangunan akan dibahas selanjutnya.
A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan historis
Selama Perang Dunia II, pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Mudah dimengerti, karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi kehidupan, rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kehancuran besar tidak mampu membangun dirinya sendiri.
Untuk membantu mereka, dunia internasional, terutama negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu sepakat untuk melakukan bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain melalui Marshall Plan yang diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan bantuan tersebut melibatkan pemerintah masing-masing negara yang dibantu. Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain. Beriringan sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk merdeka. Mula-mula Indonesia pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan negara-negara baru lain. Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan yang sama.
 Ada negara yang dipersiapkan untuk kemudian diberikan kemerdekaan oleh para penjajah, ada negara yang mencapai kemerdekannya melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi yang ulet. Negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata itu antara lain adalah Indonesia, Aljazair dan Vienam. Bagi negara-negara ini,
perjuangan lebih lanjut untuk menyembuhkan akibat dari PD-II dan perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu memerlukan waktu yang cukup
panjang dan berat. Perjuangan itu, semua harus dilakukan oleh pemerintah, tidak
mungkin dilakukan swasta melalui pasar bebas.
Dinegara-negara berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting karena beberapa hal:
1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah dapat melakukannya. Bagi negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia, pembangunan menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan tingkat pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan strategi yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan banyak masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang. Pada beberapa negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut sehingga ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya sendiri, seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo dari Serbia. Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara penanganan dengan kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan menimbulkan rasa dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam keadaan demikian terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya.
2. Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka melalui perjuangan bersenjata, pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara darurat. Sebagian dari bisnis yang ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh kalangan militer yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan danpengalaman dalam bisnis. Lebih-lebih karena cara pengambilalihan itu dilakukan secara sepihak dan mendadak, tidak ada informasi tentang kegiatan bisnis yang berlangsung sebelumnya.
3. Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai industri dan bisnis. Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak di bidang pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang pertanian dan perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing industri ini tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada koordinasi satu sama lain. Di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor bahan mentah ke negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang. Lebih-lebih setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative advantages dikampanyekan oleh negara-negara industri maju. Sebagai akibat dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang terkait, koordinasi ini lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang sebagai pembinaan, maka pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian BUMN sebagai koordinator termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu dilakukan oleh Departemen Keuangan.
4. Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara terpusat seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang mampu berperan sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai pembangunannya, seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di Eropah, dari keadaan semula sebagai negara pertanian, mendorong negara-negara yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan terpusat seperti yang dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang tersentralisir dimana peran pemerintah pusat menjadi sangat menentukan. Melalui sistem perencanaan terpusat itu, negara-negara baru berkembang membangun infra-struktur, pendidikan dan institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi penting karena pembangunan itu dibiayai dengan dana yang terbatas yang diperoleh sebagian besar melalui pinjaman dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Dengan sistem perencanaan terpusat diharapkan penggunaan dana tersebut menjadi lebih efisien dan terarah sesuai dengan prioritas yang ditetapkan. Melalui perencanaan juga memungkinkan untuk melakukan sinkronisasi yang komplementer diantara berbagai program pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
B. Kritik Terhadap Campur Tangan Pemerintah
Sejak tahun 1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang selama 25
tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya.
Karena itu timbul anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara lain berisi:
1.  liberalisasi perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2.  kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi langsung 
3.  privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4. pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5. harus ada perlindungan terhadap property right, baik disektor formal
Sementara itu IMF sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan kerja.
C. Peran Institusi dalam Pembangunan
Untuk melihat peran institusi, persoalan pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran pemerintah yang sebaiknya dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dilihat secara sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada dilapangan pada waktu sekarang. Pertama, kelompok neoliberal yang menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan  (government is the least government). Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyek-proyek pionir.
Pada public goods terdapat ketidak mampuan pasar dalam pengaturan pengadaan dan distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama, sulit dibedakan antara yang membayar ,dengan yang tidak membayar, baik dalam pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat sendiri-sendiri.
Contoh dari public goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya dan sebagainya. Demikian juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya
tidak mungkin diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru.
Di negara-negara berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat. Melihat pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. Aliran ketiga adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga sementara.
Di Indonesia lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia. Ada pula lembaga ad hoc dalam arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu. Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di Indonesia.
Lembaga khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Namun yang perlu diingat, bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy termination) atau harus berlanjut (continues)? Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan melalui lembaga atau struktur tertentu Pengertian tentang kesesuaian organisasi dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan kinerja yang ingin dicapai. Sehubungan dengan desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan diuraikan dalam tulisan lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986,Ph.D Dissertation, University of Pittsburgh).
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan centralisasi dalam kurun waktu yang berlainan bergerak seperti pendulum, sekali kekiri kearah centralisasi, lain kali kekanan kearah lebih desentralistik. Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh pada performance atau kinerja dalam pembangunan. Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara centralisasi lebih mengarah pada penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam prosess penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Lingkungan dapat dibedakan atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Masing-masing lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas pendukung. Analisis ini memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan organisasi. Tugas pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan kekuatan yang ada menjadi lebih baik untuk mampu menangani berbagai tugas dan kegiatan yang makin berkembang.

Minggu, 20 Februari 2011

Siapa Saya?



Saya seorang anak dari keluarga yang sederhana, saya mempunyai 3 orang kakak, dan 1 adik. Saya sekarang seorang mahasiswi yang berkuliah di Universitas Gunadarma semester VI. Saya seorang yang sukanya dirumah, membantu orang tua, dalam pekerjaannya, dan dalam mengerjakan pekerjaan rumah, saya suka berkumpul dengan teman-teman SMA saya dulu di rumah. Saya seorang yang tidak terlalu suka berbelanja ataupun bergaya, motif hidup saya Be Your Self and This is my Life, dan ga ada yang harus saya banggakan dari sebuah materi.
Saya membanggakan diri saya dari kepribadian, kepintaran dan cara berfikir saya, karena bagi saya hidup adalah sebuah misteri yang harus saya lewati deengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam berusah menggapai impian.
Ini hidup saya dan mimpi syaya adalah membanggakan kedua orang tua dengan kesuksesan dalam hidup yang saya tempuh sampai kehidupan berumah tangga. Ini saya dan begitulah hidup saya. Terimakasih telah mengenal dan membaca profil hidup saya.

Jumat, 18 Februari 2011

Langkah - langkah membuat laporan ilmiah

Format laporan ilmiah
Ada berbagai macam format penulisan .Namun perbedaan di antara format format yang ada jangan terlalu dipermasalahkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:
  1. Pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa penelitian telah dilakukan tujuan dan hasilnya.
  2. Langkah – langkah medannya jelas , agar jika pembaca tertarik dapat mengulang kembali.
Pada dasarnya ada dua bentuk sistematika penulisan ilmiah ,Yaitu penulisan proposal penelitian dan laporan hasil penelitian . Pada umumnya sistematika penulisan proposal penelitian danpenulisan laporan penelitian sebagai berikut :
Bagian awal
  1. halaman judul
  2. Halamn persetujuan dan pengesahan (pada laporan penelitian ,sebelum halaman kata pengantar dicantumkan intisari /abstrak)
  3. Halamn kata pengantar atau prakata
  4. Daftar isi
  5. Daftar tabel (jika ada)
  6. Daftar gambar (jika ada)
  7. Daftar lampiran (jika ada)
Bagian Utama
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Rumusan masalah
  3. Tujuan penelitian
  4. Ruang lingkup
  5. Manfaat penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
  1. Landasan teori/ tinjauan teoretis
  2. Kerangak teori
  3. Kerangka konsep
  4. Hipotesis atau pertamyaan penelitian (jika ada hipotesis)
BAB III METODE PENELITIAN ATAU CARA PENELITIAN
  • Jenis penelitian
  • Populasi sample (untuk penelitian disertai unit penelitian )
  • Variabel penelitian (untuk penelitian laboratorium / eksperimental, sebelum variabel penelitian dicantumkan bahan dan alat)
  • Definisi operasioanal variabel atau istilah –istilah lain yang digunakan untuk memberi batasan operasional agar jelas yang dimahsud dalam penelitian itu.
  • Desain / rancangan penelitian ( tidak harus , kecuali pada penelitian eksperimental)
  • Lokasi dan waktu penelitian
  • Teknik pengumplan data.
  • Instrumen penelitian yang digunakan
  • Pengolahan dan Analisis data
Khusus laporan penelitian dilanjutkan dengan bab IV -VI berikut ini :
BAB IV – HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VI – RINGKASAN
Bagian Akhir
1. Daftar pustaka
2. Lampiran – lampiran;