WASHINGTON, RABU
- Jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 7 miliar jiwa pada tahun
2012. Terdapat 6,7 miliar penduduk dunia saat ini. AS menempati urutan ketiga
untuk jumlah penduduk terbesar dunia yang mencapai 304 juta jiwa setelah India
serta China.
Jumlah penduduk dunia mencapai 6 miliar jiwa pada tahun 1999. Ini berarti
dibutuhkan waktu sekitar13 tahun lagi agar jumlah penduduk dunia
bertambah 1 miliar jiwa.
Penduduk dunia mengalami
pertambahan jumlah 1,2 persen setiap tahunnya. Biro Sensus AS memproyeksikan
tingkat pertumbuhan akan menyusut 0,5 persen menjelang tahun 2050. Pada saat
itu, India diperkirakan akan mengambil alih China sebagai negara dengan jumlah
penduduk terbesar di dunia.
Ahli demografi Biro Referensi
Penduduk AS, Carl Haub, menerangkan, perkembangan nutrisi dan medis di negara
berkembang telah mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk menyusul Perang
Dunia II. Sebagai perbandingan, menurut Carl Haub, jumlah penduduk dunia belum
mencapai 1 miliar hingga tahun 1800. Jumlah penduduk dunia belum mencapai
2 miliar jiwa hingga 130 tahun kemudian.
Biro Sensus AS memperbaharui
proyeksinya setiap tahun dengan menggunakan berbagai trend demografi global
yang mencakup tingkat mortalitas dan fertilitas serta harapan hidup. Pusat
Statistik Kesehatan Nasional AS pekanl lalu mengumumkan bahwa harapan hidup
warga AS telah melampaui usia 78 tahun untuk pertama kalinya.
Laporan terbaru tersebut
dikeluarkan di tengah tingginya lonjakan harga minyak dan bensin yang
diantaranya berperan dalam pertumbuhan ekonomi di China dan India. William
Frey, ahli demografi Brookings Institution menerangkan tidak ada konsesus
tentang ketahanan hidup dari banyak penduduk di dunia. William Frey menerangkan
hal tersebut bergantung pada bagaimana manusia mengelola sumber daya alam Bumi.
Menjelang digelarnya pemilihan umum presiden pada 8 Juli 2009, “neolib” menjadi salah satu topik paling hangat. Hal ini seiring dengan dipilihnya Boediono oleh SBY sebagai pendampingnya di dalam memimpin Indonesia ke depan.
Tidak dapat dipungkiri, “neolib” atau Neoliberalisme telah menjadi isu menguntungkan bagi kandidat Mega-Pro dan JK-Win dan sebaliknya merugikan kandidat incumbent SBY-Boediono. Isu ini membuat kubu SBY-Boediono “kebakaran jenggot”.
SBY menyebut pihak-pihak yang menuduhnya “neolib” tidak memahami apa yang disebut dengan Neoliberalisme. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah tidak mungkin menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Begitu pula Pjs Gubernur BI, Miranda S. Goeltom menganggap dirinya yang sudah 42 tahun belajar ekonomi tidak mengenal apa itu neoliberalisme. Sejumlah ekonom seperti Chatib Basri dan Raden Pardede juga menekankan bahwa tidak ada jejak Neoliberalisme di Indonesia.
Definisi dan Akar Ideologi Neoliberalisme
Saat ini perbincangan tentang Neoliberalisme telah lepas dari akar ideologinya (Kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya sebatas “isme� anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan pemerintahannyamasih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri.
Neoliberalisme juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989). Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang ditawarkan (baca: dipaksakan) IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat kepada dunia ketiga.
Neoliberalisme merupakan “isme� yang dinisbatkan kepada “watak� pemerintahan Augustu Pinochet (1873-1990) di Chile hasil perselingkuhan keditaktoran dengan ekonomi pasar bebas (B. Hery Priyono: 2009). Perselingkuhan ini terjadi ketika Pinochet yang meraih kekuasaan melalui kudeta berdarah mengangkat Chicago boys untuk mengelola kebijakan ekonomi.
Chicago boys adalah para pemuda Chile yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Chicago. Selama 1955-1963, 30 pemuda Chile telah mendapat gelar PhD di bidang ekonomi. Di universitas inilah para pemuda tersebut dicuci otaknya dengan pemikiran ekonomi ala mazhab Chicago, yakni mazhab ekonomi yang dikembangkan oleh seorang imigran Yahudi Milton Friedman yang mendapat gelar “nabi� Neoliberalisme (Wibowo: 2004).
Milton Friedman bersama Friedrich August Hayek (ekonom dari Austria) menjadi peletak dasar bangunan Neoliberalisme. Hayek mengunggulkan Kapitalisme pasar bebas dengan menempatkan harga sebagai metode untuk mengoptimalkan alokasi modal, kreativitas manusia, dan tenaga kerja. Sementara Friedman berpandangan insentif individual merupakan cara terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Menurut Friedman, â€�Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi laba…â€� (B Herry Priyono: 2003).
�Isme� liberal baru yang dikembangkan Friedman dan Hayek tidak dapat dipisahkan dari nilai dan spirit ideologi Kapitalisme yang dibangun dari filsafat liberalisme klasik. Menurut Betrand Russel (2002) Filsafat liberalisme klasik merupakan inti pemikiran asas ideologi Kapitalisme, yakni Sekularisme.
Liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan individu diperlukan untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai sekuler ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior) (Zallum: 2001). Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian.
Dalam liberalisme klasik Adam Smith, perekonomian harus berjalan tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire). Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan secara otomatis. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan, maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Pandangan ekonomi Smith ini kemudian dikenal sebagai ekonomi pasar murni.
Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih berbicara kepentingan publik, liberalisme Friedman menempatkan transaksi ekonomi (motif materi) sebagai satu-satunya landasan interaksi antar manusia dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hubungan antar bangsa.
Meskipun Neoliberalisme mengusung ide pasar bebas, bukan berarti persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dalam bahasa Prof. Claudia von Werlhof (2007) kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi bukan bagi masyarakat. Begitu pula tidak benar jika dalam kerangka Neoliberalisme negara tidak melakukan campur tangan. Bahkan seringkali dalam merealisasikan kebijakan neolib pemerintah menerapkan kebijakan �tangan besi�.
Tingkat resistensi masyarakat terhadap kebijakan neoliberal sangat besar. Untuk itu, kebijakan neoliberal selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk kebohongan publik. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digemba-gemborkan sebagai jalan menuju kemakmuran. Atau privatisasi dianggap sebagai upaya untuk memperluas kepemilikan masyarakat.
Terlepas adanya perbedaan Neoliberalisme dengan liberalismenya Adam Smith, serta pandangan yang bertolak belakang dengan mazhab Keynesian yang mengedepankan campur tangan pemerintah, Neoliberalisme merupakan wujud baru Kapitalisme yang lebih serakah dan jahat.
Neoliberal dari Masa ke Masa
Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar khususnya Amerika Serikat.
Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan Amerika menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru merdeka masuk ke dalam cengkramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi.
Amerika mendorong pembangunan berbasis hutang hutang dan investasi asing di dunia ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap hutang (debt trap) sehingga mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lutut�.
Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajah� di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar� di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu� Indonesia (Johnson Library: 1967).
Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah pejabat pro Amerika.
Soemitro bersama Soedjatmoko merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berorientasi ke Barat. Pada 1949 di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation, Soemitro mengatakan Sosialisme yang diyakininya termasuk akses seluas-luasnya terhadap sumber daya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi investasi asing. Sedangkan Soedjatmoko di hadapan tokoh-tokoh Amerika di New York menyampaikan strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada ketersediaan sumber daya di Asia
Sejak 1951 Soemitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di kampus ini, Soemitro bekerjasama dengan Ford Foundation mengatur pemuda Indonesia untuk disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard. Inilah cikal bakal lahirnya Mafia Berkeley.
Pada saat itu, Ford Foundation dipimpin Paul Hoffman yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa. Tujuan program pendidikan para pemuda Indonesia di Amerika untuk mencetak para administrator modern di dalam pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika. Hal ini persis seperti yang dilakukan Amerika terhadap para pemuda Chile yang tergabung dalam Chicago Boys.
Jika Chicago Boys memegang peranan penting di tubuh pemerintahan setelah kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet yang didukung Amerika, maka Mafia Berkeley pun mendapatkan kedudukan strategis setelah Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dengan dukungan Amerika pula (Ransom: 2006).
Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).
Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut.
Setahun kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah anggota Mafia Berkeley duduk dalam kabinetnya. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Meteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Emil Salim Wakil Ketua Bappenas, Ali Wardhana Menteri Keuangan, Subroto Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan, Moh. Sadli Ketua Tim Penanaman Modal Asing, dan Sudjatmoko Duta Besar RI di Washington (Ransom: 2006).
Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada hutang. Sementara Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan hutang, dan memobilisasi hutang baru. Sedangkan Bank Dunia berperan dalam memandu perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.
Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi Neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).
Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).
Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).
Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.
Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.
Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-Boediono tidak menjalan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, sebab mereka pernah menjadi incumbent.
Kesimpulan
Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme Neoliberal pada saat ini. Karena itu sangat memprihatinkan pejabat negara yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar sekali pun.
Ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalam “topeng� pembangunan, maka kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.
Karena itu tawaran konsep Islam untuk Indonesia lebih baik dan kuat dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah menjadi sangat relevan sebagai sebuah solusi. Sebab masalah negeri kita tidak semata-mata masalah personal pemimpin yang neolib malinkan juga akibat bercokolnya sistem Kapitalisme liberal di Indonesia. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/www.jurnal-ekonomi.org
Jakarta
(ANTARA News) - Panitia Anggaran DPR RI mengungkapkan selama pelaksanaan APBN
Tahun Anggaran 2007 masih menyisakan rekening yang mengalami
"deadlock" (kebuntuan) senilai Rp10,22 triliun. Wakil Ketua Panitia Anggaran Harry Azhar Aziz di
Jakarta, Selasa mengatakan, selain rekening yang tidak jelas identitas
pemiliknya pelaksanaan APBN 2007 juga menyisakan rekening yang belum/tidak
dilakukan penutupan maupun rekening yang "deadlock" pembahasannya."Rekapitulasi rekening yang tidak dapat
diselesaikan atau dilaksanakan pembahasannya hingga 31 Desember 2007 mencapai
3.931 rekening senilai Rp10,22 triliun serta 391.449 dolar AS," katanya.Menurut dia , rekening yang "deadlock tersebut
meliputi rekening tidak jelas identitas pemiliknya sebanyak 550 rekening
senilai Rp231,76 miliar. identitas pemilik rekening tersebut dari 28
kementerian dan lembaga (K/L).Menurut dia, rekening yang tidak jelas identitas
pemiliknya terbanyak di departemen perindustrian yakni 173 rekening, departemen
kehutanan 102 rekening, departemen PU 46 rekening, departemen kelautan dan
perikanan serta departemen agama masing-masing 27 rekening.Namun demikian dari nilainya terbesar ada di
departemen ESDM yakni Rp77,90 miliar, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Rp60,96 miliar, departemen keuangan Rp32,95 miliar, serta departemen
perindustrian Rp16,95 miliar.Harry juga mengungkapkan, dari hasil Rapat Kerja
Pembicaraan Tingkat I Pembahasan RUU Tentang Pertanggungjawaban Atas
Pelaksanaan APBN 2007 dengan Dirjen Perbendaharaan Negara juga diketahui
rekening yang belum/tidak dilakukan penutupan sebanyak 2.402 rekening senilai
Rp9,12 triliun dan 77.416 dolar AS yang berasal dari 36 K/L.Sementara itu rekening yang mengalami pembahasan
deadlock dari APBN TA 2007 sebanyak 979 rekening dengan nilai Rp874,33 miliar
serta 314.033 dolar AS dari enam K/L."Rekening yang mengalami `deadlock` pembahasan
tersebut umumnya disebabkan tidak lengkapnya dokumentasi maupun
informasi," katanya.Harry menegaskan, setiap aktivitas APBN 2007 harus
dibuatkan penyelesaian pada 2007. Menyinggung kemungkinan diberikannya sanksi atas
keterlambatan pemerintah menyampaikan laporan APBN 2007 kepada DPR dia
menyatakan penyusunan laporan biasanya memakan waktu 6 bulan setelah tahun
anggaran berakhir atau sekitar pertengahan 2008.Setelah itu BPK melakukan audit sekitar 3-6 bulan
sehingga pada akhir tahun lalu semestinya sudah masuk ke DPR.Pemerintah akan menyampaikan laporan kerja Pemerintah
Pusat Tahun Anggaran 2007 pada 25 Mei nanti sedangkan 2 Juni 2009 akan
disiapkan Undang-undang LKPP 2007. "Jika disampaikan pada saat ini masih belum
terlalu terlambat meskipun mundur 4 bulan," katanya.(*)
Keberhasilan
pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur sebelum krisis yang melanda
pada tahun 1997-1998 kerap diasosiasikan dengan kuatnya peranan pemerintah. Tak
seperti di negara-negara Barat yang mengutamakan mekanisme pasar dan
mendudukkan pemerintah pada peran ekonomi yang seminimal mungkin, di
negara-negara Asia Timur pemerintah dan swasta berinteraksi dalam suatu jalinan
kelembagaan yang memungkinkan terpacunya pertumbuhan usaha atau industri yang
efisien dan berdaya saing. Sebelum krisis tak sedikit ekonom liberal atau
neoklasik yang bersikukuh bahwa keberhasilan Asia Timur tetap bisa dijelaskan
sepenuhnya dengan kerangka teori yang mereka yakini. Bahkan di antara mereka
ada yang mencibir dengan mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang
mengindikasikan bahwa era pertumbuhan tinggi di Asia Timur sudah hampir
berakhir, karena yang menjadi topangannya selama ini -yaitu tenaga kerja murah,
sumber daya alam, dan modal pinjaman murah- tak bisa lagi terus menerus
diandalkan.
Kapitalisme
atau liberalisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memak-murkan
masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan). Namun,
ditinjau dari kacamata pembangunan fisik semata, komunisme juga mampu
melakukannya walaupun tidak sehebat Kapitalisme. Fenomena keberhasilan Asia
Timur juga membuktikan bahwa kapitalisme a la Barat bukan satu-satunya sistem
yang menjamin keberhasilan ekonomi. Persoalannya kian pelik kalau yang menjadi
tolok ukur keberhasilan tak semata-mata aspek materi, melainkan juga penguatan
harkat dan martabat umat manusia. Sejauh ini kita bisa mengatakan, paling tidak
komunisme telah gagal mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sebaliknya,
tak ada yang bisa menjamin bahwa sistem yang diterapkan di Barat maupun Asia
Timur akan terus mampu dan berhasil mempertahankan kesinambungan sukses
ekonomi, apalagi sekaligus memperkokoh harkat dan martabat manusianya.
Dari pengalaman banyak negara
kita bisa menarik hikmah bahwa sepanjang itu rekayasa manusia, tak ada yang
bersifat langgeng. Segalanya akan dan harus berubah sejalan dengan tuntutan
masa. Kapitalisme yang kita kenal dewasa ini sudah jauh berbeda dengan sosok
idealnya. Demikian pula dengan demokrasi, sangat berbeda bentuknya dibandingkan
dengan yang diidealkan oleh Jean Jacques Rousseau. Bagi Indonesia yang
belum memiliki sosok yang jelas, seharusnya bisa lebih banyak belajar dari
pengalaman keberhasilan dan kegagalan sistem-sistem yang sejauh ini telah
diterapkan. Akan terlalu panjang dan berliku perjalanan yang harus dilalui
kalau kita membusungkan dada dengan tekad, yang tak pernah terealisasikan,
mencari sendiri sistem yang paling “tepat” bagi kita, kecuali jika kita
benar-benar mampu menjabarkan sepenuhnya hukum-hukum Ilahiah. Mencari
boleh-boleh saja, tetapi jangan memasang target kelewat tinggi yang tidak
realistik.
Campur tangan
pemerintah di dalam perekonomian memang tak perlu dipandang sebagai pantangan.
Keberhasilan negara-negara Asia Timur bahkan dicirikan oleh kuatnya campur
tangan pemerintah. Tetapi sebaliknya, banyak campur tangan tak menjamin
keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyaknya campur tangan pemerintah juga tak
otomatis mencerminkan kuatnya peranan pemerintah, apalagi kalau bercampur baur
dengan kepentingan pribadi atau motif politik elit penguasa. Jadi sejak awal
harus dibedakan dengan tegas antara kepentingan pemerintah yang mewakili secara
sah kedaulatan rakyat dengan kepentingan pribadi-pribadi elit penguasa. Kalau
pada tahap ini saja kita sudah kehilangan jejak, jangan banyak berharap campur
tangan pemerintah akan memberikan dampak positif yang lebih besar ketimbang
dampak negatifnya.
Campur tangan
harus diiringi dengan otonomi pemerintah-bahkan ada yang berpendapat harus
dengan strong autonomy of state-dalam memformulasikan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dan menerapkannya. Otonomi ini pun merupakan suatu syarat perlu
(necessary condition), jadi belum tentu menjamin keberhasilan, karena pada
gilirannya bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerapkan otonomi itu
sendiri. Di sini kita bicara kapasitas pemerintah untuk membaca medan laga,
mempertimbangkan daya absorpsi sosial-politik masyarakat yang dihadapinya, yang
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian tak ada bentuk final dari sosok
keterlibatan pemerintah yang optimal. Yang penting adalah kemampuan suatu
sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru.
Peran pemerintah dalam
pembangunan telah menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran
Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah
sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan
objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para
penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat
menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari
sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi
melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen.
Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak
baik yang harus dihindarkan.
Berbeda dengan kaum
klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah sebagai
suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi persaingan
bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi bukan
kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai
golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang 46 sebagai
salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru
menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan
mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full
employment of outputs).
Karena itu Keynes memandang perlu adanya
peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi
pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya
kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat bahwa kebebasan pasar yang
berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan alokasi
sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari campur
tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas
pembangunan akan dibahas selanjutnya.
A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan
historis
Selama Perang Dunia II,
pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam
pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang
dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan
ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Mudah dimengerti,
karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi kehidupan,
rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi pemerintah untuk
melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan
rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga
dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kehancuran besar tidak mampu
membangun dirinya sendiri.
Untuk membantu mereka,
dunia internasional, terutama negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu
sepakat untuk melakukan bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain
melalui Marshall Plan yang diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan
bantuan tersebut melibatkan pemerintah masing-masing negara yang dibantu.
Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah
negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah
lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain. Beriringan
sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk
merdeka. Mula-mulaIndonesia
pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan negara-negara baru lain.
Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh kemerdekaan, namun tidak
semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan yang sama.
Ada
negara yang dipersiapkan untuk kemudian diberikan kemerdekaan oleh para
penjajah, ada negara yang mencapai kemerdekannya melalui perjuangan bersenjata
dan diplomasi yang ulet. Negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan melalui
perjuangan bersenjata itu antara lain adalah Indonesia, Aljazair dan Vienam.
Bagi negara-negara ini,
perjuangan lebih lanjut untuk menyembuhkan
akibat dari PD-II dan perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu
memerlukan waktu yang cukup
panjang dan berat. Perjuangan itu, semua
harus dilakukan oleh pemerintah, tidak
mungkin dilakukan swasta melalui pasar bebas.
Dinegara-negara berkembang yang mendapat
kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting
karena beberapa hal:
1.
Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu serta mengajak
mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah
dapat melakukannya. Bagi negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia,
pembangunan menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan
tingkat pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan
strategi yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan
banyak masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang. Pada beberapa
negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut sehingga
ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya sendiri,
seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo dari Serbia.
Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara penanganan dengan
kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan menimbulkan rasa
dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam keadaan demikian
terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya.
2.
Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai
lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka
melalui perjuangan bersenjata, pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara
darurat. Sebagian dari bisnis yang ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh
kalangan militer yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan danpengalaman
dalam bisnis. Lebih-lebih karena cara pengambilalihan itu dilakukan secara
sepihak dan mendadak, tidak ada informasi tentang kegiatan bisnis yang
berlangsung sebelumnya.
3.
Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai
industri dan bisnis. Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak
di bidang pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang pertanian dan
perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing industri ini
tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada koordinasi satu sama
lain. Di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor
bahan mentah ke negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang.
Lebih-lebih setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative
advantages dikampanyekan oleh negara-negara industri
maju. Sebagai akibat dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang
terkait, koordinasi ini lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang
sebagai pembinaan, maka pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian
BUMN sebagai koordinator termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu
dilakukan oleh Departemen Keuangan.
4.
Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara terpusat
seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang
mampu berperan sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai
pembangunannya, seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di
Eropah, dari keadaan semula sebagai negara pertanian, mendorong negara-negara
yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan terpusat seperti yang
dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang tersentralisir dimana peran
pemerintah pusat menjadi sangat menentukan. Melalui sistem perencanaan terpusat
itu, negara-negara baru berkembang membangun infra-struktur, pendidikan dan
institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi penting karena pembangunan itu
dibiayai dengan dana yang terbatas yang diperoleh sebagian besar melalui
pinjaman dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Dengan
sistem perencanaan terpusat diharapkan penggunaan dana tersebut menjadi lebih
efisien dan terarah sesuai dengan prioritas yang ditetapkan. Melalui
perencanaan juga memungkinkan untuk melakukan sinkronisasi yang komplementer
diantara berbagai program pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
B. Kritik Terhadap Campur Tangan
Pemerintah
Sejak tahun 1960-an
peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama
datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh
IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai
dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi
depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama
abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age)
dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah
PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara
maju. Setelah masa gemilang selama 25
tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami
penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya.
Karena itu timbul
anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu
untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang
melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses
pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon
Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan
pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan
sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme
yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong
negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara
lain berisi:
1. liberalisasi perdagangan melalui upaya
penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti
pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2. kesamaan perlakuan antara investasi asing dan
investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi
langsung
3. privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4.
pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan
menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5.
harus ada perlindungan terhadap property right,
baik disektor formal
Sementara itu IMF
sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk
memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat
timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara
yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro
ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat pengangguran yang
tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap
inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi memang
merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih
tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan kerja.
C. Peran
Institusi dalam Pembangunan
Untuk melihat peran institusi, persoalan
pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran pemerintah yang sebaiknya
dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dilihat secara
sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada dilapangan pada waktu sekarang.
Pertama, kelompok neoliberal yang
menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang
menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik
adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling
sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan (government is the least government). Kedua,
kelompok welfare econnomics yang
disebut juga sebagai market failure approach.
Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan
distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar.
Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan
proyek-proyek pionir.
Pada public
goods terdapat ketidak mampuan pasar dalam pengaturan pengadaan dan
distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari
barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama,
sulit dibedakan antara yang membayar ,dengan yang tidak membayar, baik dalam
pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness).
Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan
itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama,
bukan bersifat sendiri-sendiri.
Contoh dari public
goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya dan sebagainya. Demikian
juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya
tidak mungkin diadakan berdasarkan
perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat
dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang.
Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan
terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan
sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru.
Di negara-negara
berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial
tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi.
Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat
terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek
untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah
ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek
pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek
pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan
pembangunan pasar-pasar terdekat. Melihat pentingnya sarana pelayanan umum
berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara
berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran
langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. Aliran ketiga
adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang
berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu
berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara
langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak
lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan
pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan
menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada
ataupun dengan membentuk lembaga sementara.
Di Indonesia lembaga
sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut
ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan
begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain
berbentuk panitia. Ada
pula lembaga ad hoc dalam
arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi
berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau
serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai
lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu.
Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang
bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang
demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
sebuah lembaga yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi
yang terjadi di Indonesia.
Lembaga khusus-lembaga
khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada
tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas
khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu
penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi
lembaga itu. Namun yang perlu diingat, bahwa lembaga ad
hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan
menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy
termination) atau harus berlanjut (continues)?
Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam
lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah
menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan
sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada
dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan
institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan
struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka
panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah
satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini
tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan
melalui lembaga atau struktur tertentu Pengertian tentang kesesuaian organisasi
dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler
tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk
organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan kinerja yang ingin dicapai.
Sehubungan dengan desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan
diuraikan dalam tulisan lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986,Ph.D
Dissertation, University
of Pittsburgh).
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang
bervariasi antara desentralisasi dan centralisasi dalam kurun waktu yang
berlainan bergerak seperti pendulum, sekali kekiri kearah centralisasi, lain
kali kekanan kearah lebih desentralistik. Peralihan setiap waktu itu memberi
pengaruh pada performance atau
kinerja dalam pembangunan. Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi
masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif
lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara centralisasi lebih
mengarah pada penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat
yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan
yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam
prosess penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan
daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Lingkungan dapat dibedakan atas
lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Masing-masing
lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan
internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value
Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal
atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas
pendukung. Analisis ini memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan
organisasi. Tugas pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki
kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan kekuatan yang ada menjadi lebih
baik untuk mampu menangani berbagai tugas dan kegiatan yang makin berkembang.
Saya seorang anak dari keluarga yang sederhana, saya mempunyai 3 orang kakak, dan 1 adik. Saya sekarang seorang mahasiswi yang berkuliah di Universitas Gunadarma semester VI. Saya seorang yang sukanya dirumah, membantu orang tua, dalam pekerjaannya, dan dalam mengerjakan pekerjaan rumah, saya suka berkumpul dengan teman-teman SMA saya dulu di rumah. Saya seorang yang tidak terlalu suka berbelanja ataupun bergaya, motif hidup saya Be Your Self and This is my Life, dan ga ada yang harus saya banggakan dari sebuah materi.
Saya membanggakan diri saya dari kepribadian, kepintaran dan cara berfikir saya, karena bagi saya hidup adalah sebuah misteri yang harus saya lewati deengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam berusah menggapai impian.
Ini hidup saya dan mimpi syaya adalah membanggakan kedua orang tua dengan kesuksesan dalam hidup yang saya tempuh sampai kehidupan berumah tangga. Ini saya dan begitulah hidup saya. Terimakasih telah mengenal dan membaca profil hidup saya.
Ada berbagai macam format penulisan .Namun perbedaan di antara format format yang ada jangan terlalu dipermasalahkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:
Pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa penelitian telah dilakukan tujuan dan hasilnya.
Langkah – langkah medannya jelas , agar jika pembaca tertarik dapat mengulang kembali.
Pada dasarnya ada dua bentuk sistematika penulisan ilmiah ,Yaitu penulisan proposal penelitian dan laporan hasil penelitian . Pada umumnya sistematika penulisan proposal penelitian danpenulisan laporan penelitian sebagai berikut :
Bagian awal
halaman judul
Halamn persetujuan dan pengesahan (pada laporan penelitian ,sebelum halaman kata pengantar dicantumkan intisari /abstrak)
Halamn kata pengantar atau prakata
Daftar isi
Daftar tabel (jika ada)
Daftar gambar (jika ada)
Daftar lampiran (jika ada)
Bagian Utama
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Rumusan masalah
Tujuan penelitian
Ruang lingkup
Manfaat penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Landasan teori/ tinjauan teoretis
Kerangak teori
Kerangka konsep
Hipotesis atau pertamyaan penelitian (jika ada hipotesis)
BAB III METODE PENELITIAN ATAU CARA PENELITIAN
Jenis penelitian
Populasi sample (untuk penelitian disertai unit penelitian )
Variabel penelitian (untuk penelitian laboratorium / eksperimental, sebelum variabel penelitian dicantumkan bahan dan alat)
Definisi operasioanal variabel atau istilah –istilah lain yang digunakan untuk memberi batasan operasional agar jelas yang dimahsud dalam penelitian itu.
Desain / rancangan penelitian ( tidak harus , kecuali pada penelitian eksperimental)
Lokasi dan waktu penelitian
Teknik pengumplan data.
Instrumen penelitian yang digunakan
Pengolahan dan Analisis data
Khusus laporan penelitian dilanjutkan dengan bab IV -VI berikut ini :